Demokrasi Bangka Belitung: Fakta IDI, Krisis & Harapan Generasi Muda

Demokrasi dan desentralisasi bukan sekadar istilah politik yang berdebu di buku pelajaran. Bagi generasi kita yang tumbuh di tengah banjir informasi, keduanya adalah fondasi yang menentukan arah masa depan wilayah tempat kita hidup. Desentralisasi di Indonesia, yang memindahkan kewenangan administratif, politik, dan keuangan ke pemerintah daerah, telah membuka ruang gerak lebih luas bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Contohnya, di Bangka Belitung, keputusan yang diambil lebih dekat ke masyarakat mampu menjawab kebutuhan lokal dengan lebih tepat (Hill, 2014; Rose, 2004; Soejoto & Subroto, 2015). Aliran dana desentralisasi juga terbukti mendorong belanja publik dan pertumbuhan ekonomi (Ananda dkk., 2016), yang pada akhirnya memperkuat pondasi pembangunan wilayah.

Bagi kita yang aktif di media sosial dan peka terhadap isu sosial, hubungan antara demokrasi dan kualitas hidup terasa nyata. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia meningkat karena belanja pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan, dua sektor vital yang memengaruhi peluang hidup kita di masa depan (Sijabat, 2024). Demokrasi yang sehat mendorong pemerintahan untuk memprioritaskan pembangunan manusia, dan dampaknya langsung: pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan. Ini bukan hanya teori—ini realita yang bisa kita rasakan dari meningkatnya akses pendidikan dan layanan kesehatan.

Lebih jauh, demokrasi membuka jalan bagi suara masyarakat untuk benar-benar didengar. Partisipasi publik yang meningkat membuat program pembangunan lebih nyambung dengan kebutuhan generasi kita (Ananda dkk., 2016). Transformasi digital seperti e-government, meski belum sempurna, menjadi pintu masuk transparansi dan keterlibatan publik. Bayangkan, kebijakan bisa dipantau langsung lewat layar ponsel—sesuatu yang memberi kita alat untuk mengawasi dan menuntut akuntabilitas.

Namun, jalan ini tidak mulus. Korupsi dan lemahnya mekanisme tata kelola tetap menjadi penghambat serius (Nugrahanto & Sofilda, 2025). Demokrasi butuh pemimpin lokal yang visioner, bukan hanya pemegang jabatan. Keseimbangan antara nilai-nilai tradisional dan sistem pemerintahan modern juga krusial untuk memastikan pembangunan wilayah berjalan efektif (Waworuntu dkk., 2023). Kita sebagai generasi muda, dengan literasi digital dan keberanian untuk bersuara, punya peran penting dalam mengawal proses ini.

Generasi kita sedang berdiri di persimpangan. Demokrasi dan desentralisasi sudah memberi jalannya, tetapi masa depan akan bergantung pada keberanian kita untuk menuntut keadilan, memerangi korupsi, dan memastikan pembangunan wilayah benar-benar membawa kemajuan bagi semua.

Demokrasi Bangka Belitung: Dari “Sedang” Menuju “Baik” Tanpa Mengorbankan Kebebasan

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menunjukkan tren Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang nyaris datar dalam tiga tahun terakhir: 74,11 pada 2021, naik tipis ke 76,65 di 2022, lalu turun sedikit ke 75,95 di 2023. Angka ini memang berada di kategori “sedang”, tetapi di baliknya ada cerita bahwa demokrasi di sini berjalan, meski belum berlari. Bagi kita, anak muda yang melek digital, ini bukan sekadar angka di laporan BPS. Ini adalah cermin dari kualitas kehidupan politik sehari-hari—apakah suara kita benar-benar dihargai, atau hanya dicatat di atas kertas. Untuk mengubahnya, dibutuhkan strategi multifaset: meningkatkan keterlibatan politik, membangun kompetensi, membuka ruang inklusif, mengatasi rasa apatis, memastikan semua kelompok terwakili, dan memperkuat demokrasi lokal. Langkah-langkah ini bisa membuat demokrasi kita lebih hidup dan relevan bagi generasi sekarang.

Namun, ada satu catatan merah yang terus mengganggu:

Aspek Kebebasan selalu menjadi nilai terendah. Dari 68,80 di 2021, merosot ke 66,36 di 2022, dan hanya sedikit naik ke 68,34 di 2023. Artinya, ruang untuk berpendapat, berkumpul, dan berekspresi masih dibatasi oleh “tembok tak kasat mata”. Ibarat rumah yang kokoh tapi pintunya setengah terkunci, demokrasi kehilangan fungsinya ketika kebebasan dibatasi.

Padahal, kebebasan berekspresi adalah fondasi mutlak dari masyarakat demokratis—memberi kita hak untuk menyampaikan pandangan, mengkritik pemerintah, dan ikut serta dalam musyawarah tanpa rasa takut disensor (Kirchner & Frese, 2014; Krzywoń, 2025; Masferrer, 2023; Sardo, 2020; Slinko & Uvarova, 2019).

Di sisi lain, Aspek Kesetaraan di Bangka Belitung relatif stabil di kisaran 77–79, sementara Kapasitas Lembaga Demokrasi bahkan sempat menembus kategori “baik” di 2022 sebelum turun lagi pada 2023. Ini sinyal kuat untuk kita, generasi muda, bahwa demokrasi tidak akan terjaga dengan sendirinya. Demokrasi bukan hadiah yang datang dari atas, tapi hasil dari keberanian rakyat untuk bersuara dan bertindak. Jika kita ingin Bangka Belitung melompat dari sekadar “sedang” ke “baik” tanpa mengorbankan kebebasan, partisipasi aktif adalah harga yang harus kita bayar—dan itulah investasi terbaik untuk masa depan wilayah ini.

Kebebasan di Bangka Belitung: Antara Angka Indeks dan Realita Generasi Kita

Data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2021–2023 memberi sinyal bahwa kebebasan kita masih rapuh. Dari tujuh indikator, hanya sebagian yang konsisten berada di kategori “baik” (nilai >80). Misalnya, kebebasan berkeyakinan yang sempurna nilainya (100) pada 2021–2022, serta kebebasan dari tekanan aparat negara yang stabil di angka 81-an. Namun, kebebasan antar masyarakat justru memprihatinkan, hanya naik tipis dari 52,83 (2021) ke 54,38 (2023) dan tetap berada di kategori buruk. Padahal, demokrasi seharusnya memastikan semua warga negara diperlakukan setara dan bebas, memberi akses politik tanpa diskriminasi, dan melindungi hak individu tanpa memandang latar belakang (Altman & Wellman, 2008; Silander, 2020).

Ironisnya, di era media sosial yang disebut-sebut sebagai ruang bebas berpendapat, interaksi antar masyarakat di Bangka Belitung masih rentan terhadap intoleransi. Pers memang menguat, dari 76,19 (2022) menjadi 81,03 (2023), tapi kebebasan memilih dalam pemilu stagnan di angka 47,59 selama tiga tahun berturut-turut—lampu merah bagi kualitas demokrasi. Begitu pula dengan partisipasi publik dalam kebijakan, yang tetap terjebak di kisaran 50-an, jauh dari kategori “baik”. Ini tanda bahwa demokrasi kita berjalan pincang, hanya kuat di beberapa sisi, tapi lemah di titik-titik krusial yang seharusnya menopang keberlanjutannya.

Bagi Gen-Z dan milenial Bangka Belitung, ini bukan sekadar laporan statistik yang dibaca sepintas di feed media sosial. Ini adalah potret masa depan yang akan kita jalani. Demokrasi bukan tren lima tahunan saat pemilu, tapi hak yang harus dijaga setiap hari—mulai dari menghargai perbedaan pendapat di grup WhatsApp, mendukung jurnalis lokal yang berani membongkar fakta, sampai menolak segala bentuk pembungkaman. Kalau kita diam, ruang kebebasan akan semakin menyempit, dan generasi kita hanya akan mewarisi demokrasi yang tinggal nama. Sekaranglah waktunya untuk mengawal, bukan sekadar mengamati.

Kesetaraan di Bangka Belitung: Dari Angka Indeks Menuju Realita yang Inklusif

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat tren positif pada aspek kesetaraan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) periode 2021–2023. Nilainya meningkat dari 77,80 di 2021 menjadi 78,98 di 2023. Meski terlihat membaik, angka ini masih berada di kategori “sedang”—pertanda bahwa kesetaraan yang dirasakan warga belum sepenuhnya nyata. Salah satu sinyal merah terlihat pada indikator anti monopoli sumber daya ekonomi yang hanya berada di kisaran 58–64, masuk kategori “buruk”. Ini menunjukkan bahwa akses ekonomi masih terkonsentrasi di tangan segelintir pihak, meninggalkan banyak warga di pinggir arena.

Di sisi lain, kesetaraan gender dan partisipasi publik stagnan di kisaran 75–77. Artinya, suara perempuan dan anak muda dalam ruang pengambilan keputusan masih kurang bergema. Padahal, generasi milenial dan Gen-Z Babel punya kekuatan besar untuk mengubah arah kebijakan publik. Bayangkan jika lebih banyak anak muda duduk di forum musyawarah desa atau ikut public hearing—kebijakan pendidikan, lapangan kerja, dan lingkungan akan lebih relevan dengan kebutuhan nyata generasi kita.

Indikator yang paling menonjol adalah akses kerja antar wilayah, yang sudah melampaui skor 94 dan masuk kategori “baik”. Namun, tingginya peluang kerja tidak akan berarti banyak jika informasi publik tetap sulit diakses atau layanan dasar masih belum merata. Angka-angka ini adalah cermin, apakah demokrasi kita benar-benar inklusif atau hanya sekadar tampak baik di atas kertas. Jika kita ingin Babel tumbuh menjadi wilayah yang adil dan setara, inilah waktunya anak muda untuk bersuara, mengawasi, dan menuntut kesetaraan yang bukan sekadar janji, tetapi realita yang bisa dirasakan semua lapisan masyarakat.

Kapasitas Lembaga Demokrasi Bangka Belitung: Dari Angka Indeks ke Tindakan Nyata

Data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2021–2023 memberi gambaran “campur aduk” soal kapasitas lembaga demokrasi di daerah ini. Ada kabar baik: Netralitas Penyelenggara Pemilu bertahan di skor sempurna 100—prestasi yang patut diapresiasi, apalagi di tengah isu integritas pemilu di tingkat nasional. Namun, ironi besar muncul ketika indikator Pendidikan Politik anjlok drastis, dari 97,78 pada 2022 menjadi hanya 42,22 di 2023. Ini pertanda kesadaran politik publik, terutama di kalangan muda, sedang merosot tajam.

Beberapa indikator penting lain pun belum konsisten membaik. Kinerja Lembaga Legislatif memang sempat melonjak di 2022, tapi langsung melemah kembali pada 2023. Putusan PTUN terkait kebijakan pemerintah meningkat signifikan pada 2023, namun nilainya masih di bawah 80. Artinya, transparansi dan akuntabilitas kebijakan publik di Bangka Belitung belum menjadi budaya yang mengakar. Jika kondisi ini terus dibiarkan, demokrasi lokal berisiko mandek atau bahkan mundur.

Bagi Gen-Z dan milenial Bangka Belitung yang tumbuh di era digital, angka-angka ini adalah sinyal peringatan. Demokrasi bukan sekadar pesta pemilu lima tahunan, melainkan tentang bagaimana suara kita dijaga setiap hari. Tugas kita bukan hanya memilih, tapi juga mengawasi, mengkritisi, dan memastikan kebijakan yang diambil berpihak pada rakyat. Demokrasi yang sehat hanya bisa lahir dari warga yang peduli dan berani bersuara. Jadi, saatnya kita memastikan bahwa kapasitas lembaga demokrasi bukan hanya bagus di atas kertas, tapi nyata terasa dalam kehidupan sehari-hari.

Referensi :

Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. (2024). Buklet Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2023. Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. https://babel.bps.go.id/id/publication/2024/09/06/9d12e190e2c78680e1606895/buklet-indeks-demokrasi-indonesia–idi–provinsi-kepulauan-bangka-belitung-2023.html

Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. (2024, 10 Juni). [Metode baru] Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), 2023,2022,2021. Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. https://babel.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTEzMyMyMy/–metode-baru–indeks-demokrasi-indonesia–idi-.html

Altman, A., & Wellman, C. H. (2008). The deontological defense of democracy: An argument from group rights. Pacific Philosophical Quarterly, 89(3), 279–293. https://doi.org/10.1111/j.1468-0114.2008.00321.x

Kirchner, S., & Frese, V. M. (2014). The freedom of expression of members of the armed forces under the european convention on human rights in Jokšas V. Lithuania. Baltic Journal of Law and Politics, 7(1), 12–28. https://doi.org/10.2478/bjlp-2014-0002

Krzywoń, A. (2025). Freedom of Expression of Civil Servants: Balancing Duties and Responsibilities with the Requirements of Open and Free Public Debate. Dalam The Civil Service in Europe: A Research Companion (hlm. 806–829). Taylor and Francis. https://doi.org/10.4324/9781003458333-51

Masferrer, A. (2023). The Decline of Freedom of Expression and Social Vulnerability in Western democracy. International Journal for the Semiotics of Law, 36(4), 1443–1475. https://doi.org/10.1007/s11196-023-09990-1

Nuzulman, N., Masbar, R., Nazamuddin, B. S., & Majid, M. S. A. (2023). DOES DEMOCRACY MATTER FOR ECONOMIC GROWTH? EMPIRICAL EVIDENCE FROM INDONESIA. Ikonomicheski Izsledvania, 32(7), 34–50. https://www.scopus.com/inward/record.uri?eid=2-s2.0-85172684531&partnerID=40&md5=bf073c993d2047bed2cd62ec87222510

Purba, R. E. (2011). Public participation in development planning: A case study of Indonesian musrenbang. International Journal of Interdisciplinary Social Sciences, 5(12), 265–277. https://doi.org/10.18848/1833-1882/cgp/v05i12/51964

Sardo, A. (2020). Categories, Balancing, and Fake News: The Jurisprudence of the European Court of Human Rights. Canadian Journal of Law and Jurisprudence, 33(2), 435–460. https://doi.org/10.1017/cjlj.2020.5

Silander, D. (2020). Agenda 2030 and the EU on peace, justice and strong institutions. Dalam Implementing Sustainable Development Goals in Europe: The Role of Political Entrepreneurship (hlm. 162–184). Edward Elgar Publishing Ltd. https://doi.org/10.4337/9781789909975.00014

Slater, D. (2023). WHAT INDONESIAN DEMOCRACY CAN TEACH THE WORLD. Journal of Democracy, 34(1), 95–109. https://doi.org/10.1353/jod.2023.0006

Slinko, T., & Uvarova, O. (2019). Freedom of Expression in Ukraine: (Non)sustainable Constitutional Tradition. Baltic Journal of European Studies, 9(3), 25–42. https://doi.org/10.1515/bjes-2019-0020

Share your love
Bismarq Pulungan
Bismarq Pulungan
Articles: 1